Jangan Salah Pilih Pemimpin
Sleman, Pdmsleman.Or.Id
M. Wildan Wahied, SHI
Islam sangat memandang penting masalah kepemimpinan. Pentingnya kepemimpinan itu ditunjukkan lewat peristiwa pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah di Saqifah Bani Saidah, sesaat setelah wafatnya Rasulullah. Saat jasad Nabi belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi daripada menyelenggarakan jenazah beliau yang agung dan mulia.
Kepemimpinan merupakan hal mutlak yang harus ada, meskipun hanya di tengah sebuah kelompok kecil. Hal ini terlihat dari sabda Rasulullah SAW:
إِذَا خَرَجَ ثَلَاثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمَّرُوْا أَحَدَهُمْ
“Apabila tiga orang keluar dalam sebuah safar, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antaranya sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dari Abi Said al-Khudhri).
Jika dalam kelompok kaum Muslimin yang sangat sedikit pun perlu ada orang yang ditunjuk sebagai pemimpin, terlebih dalam kelompok yang jauh lebih besar, seperti sebuah bangsa misalnya.
Awas, Pemimpin Yang Menyesatkan
Meski keberadaan pemimpin itu mutlak diperlukan, namun Nabi mewanti-wanti umatnya untuk tidak sembarangan mengangkat pemimpin. Salah satu yang dikhawatirkan Nabi atas umatnya adalah salah dalam mengangkat pemimpin. Hal ini terlihat dari hadits riwayat Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ
“Sesungguhnya, yang paling aku khawatirkan atas dirimu ialah para pemimpin yang menyesatkan”. [HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi].
Salah satu tugas pemimpin adalah membimbing orang yang dipimpinnya menuju kepada arah yang benar. Ia juga dituntut untuk mampu memberi solusi atas persoalan rakyatnya. Dengan demikian, seorang pemimpin harus memiliki kapabilitas yang memadai. Tanpa landasan itu, ia hanya akan menyesatkan rakyatnya. Hal ini ditegaskan Nabi dalam sabda beliau:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya, Allah tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari umat manusia, namun Allah mencabutnya dengan cara mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Ketika dimintai pendapat, para pemimpin itu berfatwa ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan” [HR. Al Bukhari].
Keengganan orang-orang yang kapabel untuk menjadi pemimpin adalah salah satu sebab bertahtanya para pemimpin bodoh. Selain itu, kekeliruan memilih pemimpin menjadi sebab terbesarnya. Kesalahan itu dapat terjadi karena si pemilih tidak dibimbing oleh petunjuk syariat dalam mengangkat pemimpin, atau karena cara pandang yang salah terhadap kepemimpinan.
Fungsi>
Islam mewajibkan adanya kepemimpinan karena pentingnya fungsi kepemimpinan itu. Diantara fungsinya adalah:
Pertama, mencegah kezaliman. Imam Ibnu Katsir menjelaskan hal ini dengan merujuk QS. Al-Baqarah 251:
وَلَوۡلَا دَفۡعُ ٱللَّهِ ٱلنَّاسَ بَعۡضَهُم بِبَعۡضٖ لَّفَسَدَتِ ٱلۡأَرۡضُ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ ذُو فَضۡلٍ عَلَى ٱلۡعَٰلَمِينَ
Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.
Terhadap ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan:
لَوْلَا إِقَامَةُ الْمُلُوكِ حُكَّامًا عَلَى النَّاسِ لَأَكَلَ قَوِيُّ النَّاسِ ضَعِيفَهُمْ
Seandainya tidak ada kekuasaan yang ditegakkan oleh para penguasa terhadap manusia, maka orang yang kuat akan menghabisi orang yang lemah (Ibnu Katsir, Qashas al-Anbiya, II/265).
Pepatah latin mengatakan bahwa manusia adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi lainnya). Dengan demikian kekuasaan berfungsi untuk membatasi tabiat manusia yang dengan kekuatannya dapat berbuat kezaliman kepada pihak yang lemah. Sehingga, dalam suatu riwayat dari Abu Bakrah disebutkan:
اَلسُّلْطَانُ ظِلُّ اللَّهِ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ أَكْرَمَهُ أَكْرَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ أَهَانَهُ أَهَانَهُ اللَّهُ
Penguasa adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah pun akan menghinakannya pula (Ibnu Atsir, Usud al-Ghabah, h. 929).
Kedua, menegakkan hukum Allah. Utsman bin Affan t berkata:
إِنَّ اللَّهَ لَيَزِعُ بِالسُّلْطَانِ مَا لَا يَزِعُ بِالْقُرْآنِ
“Sesungguhnya Allah mencegah dengan kekuasaan (manusia) apa-apa yang tidak bisa dicegah dengan Al-Qur`an.” (Ibnu Katsir, Qishah al-Anbiya, 265).
Lewat Al-Quran Allah mencegah manusia melakukan perbuatan buruk. Orang beriman tentu akan berusaha menjauhi larangan Allah tersebut. Namun banyak dijumpai betapa orang yang mengaku beriman dapat pula melanggar larangan Allah. Sebabnya antara lain karena pelanggaran tersebut tidak mengakibatkan hukuman secara langsung di dunia.
Disinilah kekuasaan memiliki fungsi untuk menegakkan hukum Allah agar ditaati. Allah memberi kewenangan pada penguasa untuk membuat hukum ta’zir (hukum yang penerapannya diserahkan kepada punguasa). Ancaman sanksi yang ada dalam hukum ta’zir itu dapat memaksa orang lain agar taat kepada aturan hukum.
Ketiga, menyejahterakan rakyat. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
Siapa yang diserahi Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, namun kemudian ia bersembunyi dari kebutuhan mereka, kemiskinan mereka, dan kefakiran mereka, maka Allah akan menolak kebutuhannya, kemiskinannya serta kefakirannya (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzy).
Hadits ini menyiratkan bahwa diantara fungsi kepemimpinan adalah untuk menyejahterakan rakyat. Jika pemimpin itu tidak bersungguh-sungguh berupaya memenuhi kebutuhan rakyat, maka ia diancam tidak akan masuk surga. Nabi SAW bersabda:
مَا مِنْ أَمِيرٍ يَلِي أَمْرَ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ لَا يَجْهَدُ لَهُمْ وَيَنْصَحُ إِلَّا لَمْ يَدْخُلْ مَعَهُمْ الْجَنَّةَ
Tidaklah seorang pemimpin yang menangani urusan kaum muslimin, tetapi tidak berusaha semaksimal mungkin untuk mengurusi mereka dan memberikan arahan kepada mereka, kecuali dia tidak akan bisa masuk surga bersama kaum muslimin itu (HR. Muslim).
Melihat fungsi-fungsi tersebut, maka kepemimpinan dalam Islam bukanlah urusan menikmati kekuasaan belaka, melainkan berfungsi untuk membimbing rakyatnya meraih kemaslahatan di dunia dan akhirat. Semua fungsi kepemimpinan itu kemudian dirangkum oleh Imam Al-Mawardi yang memberi definisi kepemimpinan. Beliau mengatakan:
اَلْاِمَامَةُ مَوضُوعَةٌ لِخِلَافَةِ النُّبُوَّةِ فِى حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسِيَةِ الدُّنْيَا
Kepemimpinan itu berfungsi untuk menggantikan tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia. (Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, h. 4).
Tugas kenabian yang dilanjutkan itu tentu bukan untuk menerima wahyu, melainkan menjaga keberlangsungan dakwah Islam dan menegakkan hukum-hukum agama. Selain itu, juga untuk mengatur kemaslahatan kaum muslimin dalam urusan keduniaan. Sehingga, ketika seseorang memilih pemimpin hanya dengan pertimbangan material belaka, tentu ia berpotensi besar untuk terjerumus dalam kekeliruan.
Karena itulah maka Islam telah memberi petunjuk kepada umatnya dalam masalah kepemimpinan ini. Islam mengatur siapa saja yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin, siapa yang layak untuk dipilih sebagai pemimpin, serta bagaimana kriterianya.
Kriteria Pemimpin
Dengan adanya fungsi yang kompleks dan tanggung jawab yang berat tersebut, maka tidak setiap orang dapat diangkat sebagai pemimpin. Karena itu para ulama merumuskan mengenai kriteria yang harus ada pada calon pemimpin.
Imam Al-Mawardi, dalam kitabnya, Al-Ahkam as-Sulthaniyah, merumuskan tujuh kriteria pemimpin, yaitu: (1) Adil; (2) Berilmu; (3) Sehat pendengaran, penglihatan, dan cakap berbicara; (4) Tidak cacat; (5) Berwawasan luas; (6) Pemberani; dan (7) Dari suku Quraisy.
Sedangkan Ibnu Taimiyah merumuskan dua sifat dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu, pertama, Al-quwwah (kekuatan), yaitu meliputi kapabilitas, kemampuan dan profesionalitas seorang pemimpin. Kedua, al-amanah (integritas), yaitu meliputi adanya komitmen dan tanggung jawab dalam mengemban amanat rakyatnya.
Orang Yang Dilarang Dipilih Sebagai Pemimpin
Selain kriteria yang bersifat teknis tersebut, kriteria mutlak lainnya adalah bahwa pemimpin tersebut harus seorang muslim. Lebih dari itu, orang tersebut harus memiliki wala’ (loyalitas) terhadap agamanya. Sehingga, dalam banyak ayat, Allah secara tegas telah memberi petunjuk tentang siapa saja yang tidak boleh dipilih sebagai pemimpin kaum muslimin. Mereka itu disebutkan dalam 19 ayat yang tersebar dalam beberapa surat Al-Quran. Diantaranya adalah ayat berikut ini.
Pertama, orang kafir.
لاَّ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء مِن دُوْنِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَن تَتَّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin, teman setia, pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali.” (QS: Ali Imron [3]: 28).
Kedua, orang yang menjadikan agama Allah sebagai olok-olok.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِّنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai wali (pemimpin). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman.” (QS: Al-Ma’aidah (5): 57).
Ketiga, orang yang memiliki loyalitas kepada kekafiran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ آبَاءكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاء إَنِ اسْتَحَبُّواْ الْكُفْرَ عَلَى الإِيمَانِ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara- saudaramu menjadi wali (pemimpin/pelindung) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS: At-Taubah [9]: 23).
Keempat, orang Yahudi dan Nasrani.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al-Maidah (5): 51).
Itulah petunjuk agama dalam masalah mengangkat pemimpin. Sudah selayaknya seorang muslim merujuk kepada petunjuk syariat masalah ini. Sebab, memilih pemimpin ternyata bukan semata-mata untuk urusan dunia, melainkan juga untuk kepentingan akhirat. Semoga kita tidak keliru dalam memilih pemimpin.
Wallahu a’lam bis-shawwab
M. Wildan Wahied, SHI
Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sleman
What's Your Reaction?
-
Like
-
Dislike
-
Funny
-
Angry
-
Sad
-
Wow